(Cerpen) Tamu

Mendung sudah lama menyelimuti, terdengar suara bergemuruh di langit. Kilat sesekali menyambar, bau basah dan angin kencang memberi pertanda sebentar lagi akan hujan.

Rumah itu telah lama kosong, tak berpenghuni. Kini bangunan itu kembali ditinggali. Daun-daun kering yang berserakan telah terbawa angin, cukup lega tanpa susah-susah membersihkan pelataran rumah. Bau lembap bercampur sesaknya debu dan sarang laba-laba yang bergelantungan menyapa penghuni baru.

Listrik dan air masih menyala, beberapa perabotan sudah tersedia. Mugkin ketika kembali bersih, rumah ini tak terlihat mengenaskan lagi. Perjalanan cukup jauh dan hari-hari yang dihabiskan dengan mengemasi barang untuk dipindahkan, membuat penghuni baru merasa lelah. Cukup dengan membersihkan ruang tengah, mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak.

Memesan makanan dan menanti yang diidamkan terasa cukup membosankan. Gerimis mulai membasahi tanah, kiriman pun tak mungkin bisa datang secepatnya. Melihat Si Bungsu yang sedih, Si Sulung mencoba menghiburnya. Menonton kartun kesukaan lewat ponsel hingga kantuk mulai menyerang.

Rasa lapar dan lelah ditemani dengan hembusan angin dan bau hujan, membuat mata terasa berat. Si Bungsu kini tertidur di pangkuan Si Sulung. Waktu terasa lambat ketika hujan turun semakin deras, Si Sulung kini ikut pulas tertidur. Terdengar deru mesin mendekat, Si Ibu bergegas mengambil payung dan menuju ke pelataran. Makanan sudah siap, meskipun hangatnya lenyap ditelan hujan.

Pintu depan masih terbuka, cipratan air yang terbawa angin menambah hawa dingin yang menusuk kulit. Si Bungsu dan Si Sulung terbangun dengan bau makanan dan suara peralatan makan yang berdenting. Dinginnya petang itu terasa lebih baik dengan sesuap makanan yang sudah lama dinantikan.

Kenyang, mengakhiri hari yang panjang. Bapak-Ibunya beristirahat lebih dulu, meninggalkan 2 anaknya yang masih terjaga. Si Sulung membereskan sisa makanan dan Si Bungsu sibuk dengan permainannya. Pintu sudah terkunci, remang-remang lampu menyala menemani yang masih terjaga.

Hujan tak kunjung reda, angin semakin kencang menerpa, menyelinap dari celah-celah jendela. Untung saja atap rumah tak bocor meskipun bangunan ini sudah tua. Malam semakin gelap, jalanan semakin sepi. Petir menyambar diikuti gemuruh yang mengagetkan, seketika listrik pun padam.

Lampu senter dari ponsel cukup menerangi ruangan. Berjalan menyusuri ruangan-ruangan yang belum sempat dibersihkan, berharap ada keajaiban untuk membantu penerangan selama beberapa jam kedepan. Mencari lilin di laci yang lama tak terjamah, tangan dan kaki terasa lengket akan debu yang singgah.

Sebuah kaca memantulkan cahaya dari sudut tergelap rumah, ruangan kecil seakan tak pernah dikunjungi. Terlihat beberapa batang dupa tergeletak sia-sia, lilin yang telah terpakai berdiri di atas meja. Lilin merah dan lilin-lilin kecil berserakan di sudut ruangan. Tak ingin pikir panjang, syukur saja menemukan lilin untuk menerangi rumah ini semalaman.

Menata lilin di ruang tengah, merogoh korek dari ransel yang sedari tadi tergeletak di sofa. Ruangan terasa kembali hangat. Api yang sesekali bergoyang tertiup angin hujan, membuat suasana semakin sendu. Bermain bayangan terasa cukup untuk membunuh waktu bersama Si Bungsu.

Terdengar sayup-sayup suara kayu terketuk, dahan pohon tak mungkin sejelas itu. Ketukan terdengar di depan pintu. Hening. Ketukan terdengar di jendela kanan. Hening. Ketukan terdengar di jendela kiri. Hening. Ketukan terdengar dari dalam. Hening.

Tak ingin takut di rumah sendiri, mencoba untuk tetap berani sambil membohongi telinga yang mendengar ketukan aneh tak kunjung henti. Anggap saja tikus kelaparan mencari jalan masuk, maklum saja, bangunan lama tidak ditinggali. Si Bungsu memeluk dengan erat, badannya menggigil dingin dan ketakutan. Hening. Satu lilin padam tertiup angin.

Semakin kencang angin berhembus, terdengar kembali ketukan di pintu. “Tok tok tok”, tak mungkin ada orang bertamu. “Tok tok tok”, ketukan terdengar lagi. Si Bungsu merengek takut, menutup telinganya. Satu lilin padam lagi, entah angin darimana yang meniupnya. Satu per satu lilin mati. Gelap.

Tiba-tiba pintu depan terbuka lebar, jendela-jendela terbuka, angin semakin kencang menerpa. Teriakan dari Si Bungsu membuat Si Sulung semakin panik, air matanya tak terbendung lagi, ingin rasanya beranjak dari tempatnya saat ini. Terlihat dari luar bayangan sosok perempuan melangkah masuk, membawa aroma anyir.

Berlari, bersembunyi, suara langkah terdengar semakin berat, mendekat. Bunyi tetesan air yang jatuh ke lantai mengiringi suara cakaran di tembok penjuru ruangan. Semuanya terjadi begitu cepat. Dingin, gelap, ketakutan. Si Sulung membungkam Si Bungsu, tak ingin bertemu dengan sosok menakutkan itu.

Menyelinap, bersembunyi, tak tahu dimana orang tuanya berada. Gelap. Semuanya terasa mencekam, badannya terasa terbakar, tengkuknya berat, ulu hatinya seperti terlilit. Menangis kesakitan sambil berpelukan, mencoba saling menguatkan.

Sosok itu kembali mendekat, suaranya semakin berat. Bau anyir semakin menyiksa, Si Bungsu berlari entah kemana. Langkahnya hilang, berganti suara lonceng berdenting berpindah ruangan. “Kalian tidak bisa lari dari sini”, satu bisikan terdengar jelas dari tengkuk Si Sulung. Semuanya gelap, ia tak ingat lagi.

Tersadar dengan tangan terikat di kursi, duduk berhadapan dengan Si Bungsu yang terlihat pucat pasi. Tatapannya kosong, tak bisa berkata lagi. Semuanya terasa janggal, suara tawa tiba-tiba memekakakkan telinga. Terasa benda tajam menghunus dada, rasa amis darah membanjiri lidah. Lenyap seketika, meninggalkan luka.

*Photo by hey karan from Pexels