Lapig Berkorban Perasaan di Malam Idul Adha

Lapig masih menetap di kandang babi sendirian, teman-temannua sudah pada pulang kampung karena jarak rumah yang lumayan dekat, sedangkan lapig hanya bisa termenung dipojokan dapur, tidak ada yang dia lakukan, berharap ada pak rt datang membawa daging yang sudah matang. 

Suara di luar sangat ramai, anak kecil lari tidak tentu arah membawa obor elektrik tidak lagi memakai minyak, sebab minyak sudaj habis diborong oleh kelangkahan, lapig menuju teras melihat anak kecil berjalan bersamaan, sedikit menghibur diri. 

Malam sudah semakin larut lapig masih duduk di teras sambil menghisap rokok tanpa filter, bibirnya penuh dengan tembakau, matanya merah, pengeras suara satu per satu mulai mati, hanya ada satu yang terdengar suara lelaki tua dengan suara yang lusuh tetepi masih semangat untuk takbiran. 

Udara dingin datang hampir di angka sepuluh derajat lapig tidak kedinginan hatinya membeku karena kesepian. 

Di rumah ada kambing tiga, ayam sembilan bapak punya

Lapig tidak tahan lagi menahan rindu ingin bertemu kambing kepunyaan bapak, kambing betina doyan makan tapi enggak pernah bunting, sampai sekarang hanya ada tiga. 

Tidak terasa sudah subuh, tidak ada hujan atau badai lapig ikut solat subuh berjamaah, setelah menunaikan ibadah sholat subuh lelaki tua yang takbiran sampai subuh mengajak lapig untuk berkunjung ke rumahnya. 

Akhirnya lapig bisa menikmati opor ayam di rumah lelaki tua itu, seorang lelaki tua sebatang kara yang merasa kesepian setiap harinya bertemu seorang pemuda yang kesepian. 

Tidak ada rasa solidaritas yang paling murni, selain perkumpulan orang-orang yang kesepian.