Kapan?

Pagi yang cerah tanpa drama, sesuatu yang jarang terjadi ketika bersama dengan anak-anak. Selalu ada saja hal-hal yang menjadi sumber keributan, entah cara melepas sepatu yang tidak sesuai keinginan, berebut daun kering yang entah untuk apa, emosi karena kurang tidur di malam sebelumnya, dan masih banyak lagi. Drama-drama itu yang kadang membuat rindu untuk kembali, lelahnya sebanding dengan hiburan yang didapatkan.

Suara anak-anak berlarian dan balok berjatuhan menjadi irama pengiring sebelum lagu senam pagi diputar setiap harinya. Seorang guru senior terlihat sedang pergi ke dapur sekolah, Mila sedang menemani seorang murid untuk melepas sepatunya. Hamil besar membuat perut guru itu terlihat asing di mata murid. Namanya juga anak-anak, rasa penasaran yang sedang tinggi membuatnya tidak tahan untuk bertanya,

“Kok perutnya besar?”

“Iya, itu namanya hamil. Di dalam perutnya ada adik bayinya”

“Oh…”

Sebuah tantangan tersendiri untuk menjawab segala pertanyaan dari anak-anak. Seperti seorang filsuf yang mempertanyakan bagaimana semesta bekerja dan mengapa dirinya ada. Terkadang terdengar menggelikan, tapi terkadang pertanyaan mereka juga bisa membuat Mila berpikir lagi tentang segalanya. Lamunan tentang pertanyaan anak-anak terganggu dengan sebuah tepukan di tangan Mila, murid yang ada di depannya meminta bantuan untuk melepas kaos kakinya sambil menunjuk perutnya,

“Kalau itu? Sama?”

“Apanya?”

“Perut Bu Mila”

Mila terkejut dengan yang barusan ia dengar dari seorang bocah polos yang masih berusaha melepas kaos kakinya. Tertawa, geli dengan pertanyaan yang baru saja terlontar sambil memikirkan jawaban yang tepat untuk didengar anak-anak. Murid polos itu ikut tertawa melihat muka Mila yang memerah, guru hamil itu pun menghampiri mereka sambil tersenyum menantikan jawaban apa yang keluar dari mulut Mila.

“Ini ada adik bayinya, doakan adiknya sehat ya?”

“Iya, biar nanti bisa main sama-sama. Kalau yang di perutku ini lemak, isinya makanan, bukan adik bayi”

Guru lain yang mendengar hanya bisa tertawa geli dan berlalu. Murid itu masih belum juga puas dengan jawaban yang Mila berikan. Pertanyaan dan berbagai ungkapan yang kadang tidak pernah terpikirkan seakan-akan terlontar begitu mudahnya dari mulut anak-anak. Kepolosan membuat nada dan raut wajahnya sering menggelitik emosi orang yang lebih tua. Cukup dibilang lebih tua saja, karena dewasa tidak memandang usia.

“Kapan?”

“Kapan apanya?”

“Punya adiknya”

“Ya tunggu kalau aku sudah menikah, nak”

“Ayo cepat!”

“Kenapa kok mau cepat-cepat? Kamu mau main sama bayiku kalau sudah lahir?”

“Iya”

Mila semakin tersipu dan hanya bisa tertawa. Bahkan bocah kecil pun sudah memiliki bibit sifat stereotip tetangga. Sungguh pagi yang tidak bisa dilupakan begitu saja. Andai semua bisa semudah itu untuk mendapatkan jodoh, menikah, dan memiliki momongan. Andai saja muridnya tahu sudah berapa kali ia patah hati dan hanya ingin melupakan keinginan itu untuk sementara. Untuk apa juga bersedih lama-lama, hari itu seorang murid membuatnya menertawai penderitaannya.